Rabu, 10 September 2008

.::. RAMADHAN .::.

Ramadhan adalah salah satu bulan yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya oleh kaum muslimin di dunia. Kemuliaan dan fadhilahnya yang sangat besar membuat tiap-tiap pribadi saling berlomba mendapatkannya. Setidaknya ada tiga keutamaan diantara sekian banyak keutamaan bulan ini yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya, yaitu rahmat, ampunan dan pembebasan diri dari api neraka. Sudah seharusnya setiap pribadi mempersiapkan dirinya menyambut dan menghadapi bulan suci ini dengan persiapan yang matang. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan ini. Beliau senantiasa melantunkan doa :“Allahumma bârik lânâ fî rajabin wa sya’bânin, wa balighnâ ramadhân…/ Ya Allah, berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan izinkan kami bertemu Ramadhan…”.

Sudah menjadi adat dalam kehidupan manusia bahwa setiap daerah dan suku bangsa mempunyai ciri khas dan kebiasaan tersendiri. Ibarat kata pepatah, “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalangnya”. Demikian pula halnya di Negeri seribu menara (salah satu julukan negara Mesir) dalam menyambut dan menghadapi bulan yang lebih baik dari seribu bulan ini. Adakalanya kebiasaan mereka itu dapat pula kita temui dalam masyarakat kita sendiri, tapi ada pula sebagiannya sangat jarang sekali dapat kita jumpai.

Sedikitnya ada tiga dimensi yang patut kita perhatikan dalam rangka menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Dimensi pertama adalah persiapan jasmani. Kedua, persiapan fikri. Ketiga, persiapan ruhi. Persiapan fikri dan ruhi akan sangat kental kita temui di Mesir daripada persiapan jasmani. Namun bukan berarti mereka mengabaikan persiapan jasmani yang tak kalah pentingnya ini. Hal ini dapat kita lihat dengan sedikitnya iklan layanan masyarakat di siaran-siaran televisi maupun yang terpampang di jalan-jalan yang berkenaan dengan bulan Ramadhan. Dibandingkan dengan Indonesia, suasana seperti seperti ini terlihat jauh berbeda. Iklan-iklan bertemakan Ramadhan jauh-jauh hari sudah dapat kita saksikan di televisi dan kita dengarkan di stasiun-stasiun radio. Bahkan kuis-kuis dengan suasana Ramadhan juga acap kali kita saksikan.

Yang sungguh menarik dari cara orang Mesir menyambut bulan Ramdhan adalah sikap ramah mereka kepada setiap orang yang mereka jumpai. Salah satu ucapan yang sering kita dengar adalah “Kullu sanah wa inta thoyyib/ semoga sepanjang tahun anda berada dalam kebaiakan”, “Ramadhan Karîm”/”Ramadhan yang mulia”. Bagi orang Mesir ucapan ini mempunyai makna yang sangat dalam. Kalimat yang mengingatkan akan tingginya kemuliaan Ramadhan ini mampu melembutkan hati mereka. Apabila ada orang yang bertengkar dan diucapkan kalimat ini, maka mereka akan segera beristighfar menyadari kekhilafannya. Para pedagang di sepanjang jalanpun tak ketinggalan berlomba-lomba menghiasi toko-toko mereka dalam menyambut bulan yang pernuh berkah ini. Biasanya didepan toko-toko itu akan didirikan tenda berwarna merah dengan motif yang khas. Diantara hiasannya yang khas adalah Vanus ramadhan. Vanus ramadhan adalah semacam lampu atau lampion dengan bentuk persegi seperti rumah-rumahan yang berwarna warni ; sedikit lebih mirip dengan lampu pedati. Kalau kita keluar pada malam hari, rumah-rumah akan terlihat lebih semarak dengan adanya lampu ini. Sepertinya suasana Ramadan jadi kurang afdhol kalau belum dihiasi lampu vanus. Konon, tradisi lampu vanus ini berawal ketika masuknya dinasti Fathimiyah ke Mesir yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Mungkin kalau di pinggiran kota Kairo, kita masih banyak melihat pemandangan bocah-bocah kecil pada ramai menyanyikan lagu-lagu Ramadhan sambil berputar-putar membentuk lingkaran dan di tangan masing-masing membawa Lampion Vanus. Setelah itu mereka berkunjung ke rumah-rumah keluarga dekat untuk meminta receh atau permen, coklat dan segala macam jajanan manis.Tak ketinggalan penganan yang khas ramadhanpun banyak bermunculan. Diantara yang banyak diminati adalah kurma dengan berbagai jenisnya; (ada yang muda, kering, basah, berbiji, tidak berbiji dan ada juga kurma dengan isi kacang yang disebut dengan balah billouz), Halawa atau manisan.

Persiapan fikriyah dalam rangka menyambut bulan penuh barakah ini akan sangat kental kita rasakan di Mesir. Kita saksikan saja misalnya di masjid-masjid, taushiyah dan khutbah-khutbah jumat oleh ulama terkemuka banyak yang bertemakan tentang bulan ramadhan. Selain itu, media elektronik dan media cetakpun gencar mengajak para 

pendengar dan pembacanya untuk mendulang faidah dan keutamaan di bulan ini . Buku-buku panduan bulan ramadan dicetak denga oplah besar-besaran. Mulai dari buku-buku saku yang bisa dibawa kemana-mana sampai buku-buku yang tebal. Bahkan banyak diantaranya yang dibagikan kepada khalayak dengan cuma-Cuma.

Disamping itu, persiapan dari segi ruhiyahpun kita akan menemukan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman. Hal ini akan kita lihat dengan nyata pada kecintaan mereka pada shalat berjamaah, berinfak dan kecintaan mereka terhadap Alquran. Kita tengok misalnya hamasah/ semangat mereka untuk mengakrabkan diri dengan Alquran dalam tiap kesempatan. Bukan suatu keadaan yang aneh kalau kita melihat separuh dari penumpang kendaraan umum orang-orang yang sedang tilawah Alquran. Tidak mengherankan juga, di halte-halte bus, sekolah-sekolah, kampus-kampus, pos-pos penjagaan polisi, kita akan dengarkan senandung merdu Alquran. Tidak hanya mereka yang berpakaian jalabiyah (jubah), tapi juga mereka yang berdasi,sopir-sorpir angkutan umum, pedagang kaki lima, sampai pada pekerja-pekerja kasar yang sering nongkrong di trotoar-trotoar. Membaca Alquran dibulan ramadhan fadhilahnya akan menjadi berlipat ganda daripada hari-hari biasanya. Oleh karena itu, apabila masa-masa diluar Ramadhan kita tidak terbiasa untuk membacanya, maka akan sulit untuk mengharapkan kita mampu membacanya lebih banyak, apalagi untuk mengkhatamkannya sampai baerkali-kali.

Diantara mereka yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan di Mesir ini adalah kita masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah Masisir ( Mahasiswa Indonesia di Mesir ). Kita menemukan berbagai macam suasana yang jarang sekali dapat kita temui di tanah air. Beberapa hal yang menarik ber-Ramadhan di Mesir adalah:

Mâ’idah al-Rahmân

Adalah suatu kewajaran yang banyak terjadi di setiap tempat, para pelajar perantau yang tinggal di kos-kosan akan menyerbu tempat-tempat yang menyediakan makanan gratis. Demikian pula halnya yang terjadi di Mesir. Saat Ramadhan para Masisir tidak perlu repot menyiapkan makanan berbuka puasa. Mereka cukup menyerbu lokasi-lokasi layanaan berbuka gratis yang disediakan di masjid-masjid hingga tenda-tenda dadakan dikenal dengan tradisi Mâ’idah al-Rahmân, hidangan Tuhan, atau jamuan Allah. Selain berbuka secara cuma-cuma, mereka terkadang bisa menyisakan makanan hingga waktu sahur. Di Nasr city; kawasan yang paling banyak dihuni oleh masisir, hampir seluruh masjidnya menyediakan buka puasa gratis. Mungkin hanya beberapa masjid saja yang tidak menyediakan, itupun karena masjidnya kecil yang tidak mempunyai jamaah yang banyak. Tidak di masjid saja, tenda-tenda daruratpun dibangun untuk keperluan ini. Orang-orang kaya dermawan berlomba-lomba menyediakan Mâ’idah al-Rahmân dengan menggelarnya di rumah mereka atau berkeliling dengan mobil pada sore hari membagikan makanan dalam kotak-kotak kepada orang-orang yang mereka temui.

Tradisi Mâ’idah al-Rahmân ini mungkin mirip tradisi buka bersama di Tanah Air yang diarabkan menjadi Ifthâr jamâ’i. Istilah Mâ’idah al-Rahmân sebetulnya diilhami hadits Nabi SAW yang menegaskan kemuliaan orang yang menyediakan jamuan berbuka puasa akan mendapatkan pahala seperti puasa orang yang dijamunya.

Diriwayatkan Zaid Bin Khalid Al Juhny, Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa yang menjamu orang berpuasa maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu tanpa dikurangi sedikitpun dari pahalanya.” (HR Tirmidzi). Orang yang memberikan jamuan makanan pada yang berpuasa, juga didoakan Nabi agar mendapatkan doa kesejahteraan para malaikat. Jaminan pahala itulah yang menarik minat kaum Muslimin Mesir berbondong-bondong menyiapkan makanan berbuka bagi yang berpuasa.

Konon tradisi Mâ’idah al-Rahmân ini terhidang pertama kali di Mesir pada masa Pemerintahan Dinasti Turki Ustmani pada abad ke-18 Masehi. Pada awalnya Mâ’idah al-Rahmân diperuntukkan bagi shâimîn faqîrîn, orang yang berpuasa dari kalangan fakir miskin yang tidak mampu menyediakan makanan berbuka. Namun, kini Mâ’idah al-Rahmân berubah menjadi tradisi berbuka tidak saja untuk fakir miskin, tapi juga masyarakat umum.

Beberapa masjid yang mengadakan Mâidah al-rahmân mendapatkan santunan dana lebih dari 10.000 dermawan Mesir dan negara lain seperti Saudi dan Kuwait. Konon, dana yang digunakan untuk mâidah al-rahmân pada Ramadhan 1424 H, mencapai US $ 100 juta, atau setengah dari dana pembangunan Bibliotica Alexandria (Perpustakaan Alexandria) yang menghabiskan dana US $ 220 juta. Mâidah al-rahmân ini bisa dinikmati oleh lebih dari 3 juta orang/perhari. Subhânallâh!

Bagi sekitar 3.500-an Masisir, tradisi maidaturrahman memiliki kesan tersendiri. Meskipun mereka menghabiskan Ramadhan di perantauan, mereka merasa tidak sendirian. Mereka dan mahasiswa asing lainnya (disebut wafidin) bahkan merasa diperhatikan dan diperlakukan khusus oleh para muhsinin dan dermawan Mesir.Mereka menganggap wafidin sebagai tamu kehormatan di negeri mereka karena merantau guna mencari ilmu. Selain mendapatkan layanan berbuka, tak jarang para mahasiswa itu mendapatkan musaadah atau bantuan uang sekadarnya yang biasanya marak terjadi pada Ramadhan.

Masjid Indonesia Kairo

Jika ada Masisir yang ingin merasakan Ramadhan ala Indonesia, maka Masjid Indonesia Kairolah tempatnya. Masjid ini terletak di kawasan Dok`I, satu lokasi dengan SIC ( Sekolah Indonesia Cairo ). Daerah ini cukup jauh dari Nasr City, sekitar satu jam perjalanan jika ditempuh dengan kendaraan umum. Namun pihak KBRI menyediakan mobil jemputan bagi masisir yang ingin shalat tarawih disana.Semua jamaah di masjid ini rata-rata adalah orang Indonesia. Diantaranya keluarga staf KBRI yang mayoritas berdomisili di daerah ini. Sepertinya di masjid inilah satu-satunya yang ceramah sehabis tarawihnya berbahasa indonesia. Yang paling menarik bagi masisir shalat tarawih di masjid ini adalah, adanya doorprize dan makanan ala Indonesia seperti bakso,sehabis tarawih dan ceramah.

Tarawih satu juz

Salah satu ungkapan kerinduan masyarakat Mesir dan upaya mereka dalam menghidupkan malam-malam Ramadhan adalah dengan melaksanakan shalat tarawih satu juz tiap malamnya. Baik itu dilaksanakan dalam 23 rakaat ataupun 11 rakaat. Memang tidak semua masjid yang melaksanakannya. Yang sering melaksanakannya adalah masjid-masjid besar yang mempunyai jamaah yang banyak. Diantaranya adalah masjid Assalam dikawasan Hay `Asyir (10th district, Nasr city ). Masjid dengan arsitektur yang menyerupai kubbah al-shokhhkro` di Palestina ini diimami oleh Ustadz Yassir Assalamah. Beliau adalah seorang Hafidz terkenal yang mempunyai suara merdu yang didatangkan khusus untuk mengimami shalat Isya dan Tarawih. Selain itu, yang terkenal juga adalah masjid masjid Bilal; masih dikawasan Nasr city. Masjid yang tidak begitu besar ini mempunyai ratusan atau mungkin ribuan jamaah. Taman masjid yang luas selalu dipenuhi jamaah tarawih setiap malamnya.

`Asyru awâkhir dan I`tikâf

Inilah perbedaan mencolok antara ramadhan di Tanah air dengan Ramadhan di Mesir yang dapat kita saksikan. Sepuluh hari terakhir ramadhan di Tanah air seperti kehilangan ruhnya. Masjid mulai ditinggalkan para jamaahnya. Berbeda dengan Indonesia, malam-malam `Asyru awâkhir di Mesir akan terlihat semakin bergairah. Banyaknya masjid yang menyediakan tempat untuk I`tikâf ( berdiam di masjid dengan niat I`tikâf)bagi para jamaah. Masjid-masjid itu juga menyediakan sahur dan buka puasa bagi para Mu`takif (orang yang ber-I`tikaf). Jama`ah tarawih akan membludak pada sepuluh hari terakhir ini daripada hari-hari sebelumnya. Lebih hebat lagi kalau kita menyaksikan suasana di masjid Amru bin `Ash. Jamaah masjid bersejarah yang dibangun pertama kali di Mesir saat Amr Bin ‘Ash diangkat menjadi gubernur untuk kawasan Afrika ini akan membludak sampai ke ruas-ruas jalan. Shaf terakhir jamaah tarawih pada sepuluh hari terakhir bisa mencapai jarak 300 M dari masjidnya. Masjid ini diimami oleh seorang syaikh terkenal pemilik suara indah asal Mesir yaitu Syaikh Muhammad Jibril. Subhânallâh!



Demikianlah kerinduan mereka terhadap bulan Ramadhan, rasanya tak bisa dituangkan hanya dalam waktu satu bulan. Tak heran jika ketika Ramadhan usai, bukan senang yang mereka rasakan. Tapi sedih dan takut tak bisa bertemu dengan Ramadhan di tahun yang akan datang, itulah yang lebih mereka rasakan. Kita berharap, suasana Ramadhan yang sangat mengagumkan ini dapat pula hendaknya kita rasakan di Tanah air kita tercinta. Allâhu musta`ân. Wallahu